Kamis, Oktober 16, 2008

Sholat Musafir (Hukum, Ketentuan dan Raka'at)


Mengenai sholat orang dalam bepergian/perjalanan yang juga disebut Sholat Safar, banyak kesimpang siuran pendapat di kalangan umat sehingga menimbulkan keraguan. Sehingga timbulah pendapat-pendapat yang tidak berdasar kepada Al-Qur'an dan Al Hadits. Dalam suatu Hadits diriwayatkan "Sholatlah seperti Sholatku", maka dengan menjalankan sholat yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah saw atau karena ragu-ragu akhirnya malah memilih untuk meninggalkan aturan-aturan yang berkaitan , ini dapat berakibat "tertolaknya" ibadah Sholat tersebut.

Adapun ketentuan yang mengatur terdapat pokok-pokok sebagai berikut :

    1. Batasan Jarak.
    2. Sholat-sholat yang di Qashar
    3. Batasan waktu Sholat Musafir/Safar.
    4. Kewajiban melengkapi Sholat Musafir.
    5. Hal-hal lain tentang cara pelaksanaan Sholat Qashar.
1. Batasan Jarak untuk Sahnya Sholat Musafir/Safar.

Menurut Imam Ibnu Mundzir ada sekitar 20 pendapat/firqah yang memperselisihkan jarak sholat safar mulai dapat dilakukan, sebagai berikut :

Salah satu dalil yang menjadi alasan/hujjah ketentuan jarak yang ditempuh dalam perjalanan untuk melaksanakan Sholat Musafir adalah minimal 4 barid (sekitar 77.520 m atau ± 78 Km) atau sejauh Mekkah ke Usfan :

Artinya : Dari Ibnu Abbas, Rasulullah berkata : "Jangan kamu meng-qashar sholat dalam perjalanan kurang dari 4 barid, yaitu dari Mekkah hingga Usfan" (Ad-daraquthni dengan isnad dla'if)

Hadits diatas mempunyai cacat karena dalam penyampaiannya ada musnad (orang yang menyampaikan hadits ini) yaitu Abdul Wahad bin Mujahid yang dituduh pendusta/tukang karang hadits (dalam kitab Nail Authar juz III).

Sedangkan Hadits yang menjadi alasan/hujjah untuk ketentuan jarak tempuh dengan batas minimal 3 mil adalah :


Artinya : Syau'bah dari Yayah bin Yazid Hannafi, memberitakan "Saya bertanya kepada Anas bin Malik mengenai sholat Qashar, maka Anas menjawab: Rasullullah SAW bila bepergian sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka Rasulullah SAW sholat dua raka'at (HSR. Ahmad dan Muslim)

Kata-kata 3 mil atau farsah diatas tidak jelas karena perawi (Syau'bah) tidak jelas/ragu-ragu meriwayatkannya, antara mil atau farsakh. Padahal 1 farsakh = 3 mil atau 3 farsakh = 9 mil. Kekaburan ini diperjelas dengan berita (dari Abu Sa'id Al-Khudri) sebagai berikut :


Artinya : Ia memberitakan Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka mengqashar sholat menjadi dua raka'at (diberitakan oleh Said bin Mansur dan Al-Hafidz, yang menyebutkannya dalam Kitab At-Talkhis dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).

Sedangkan kekaburan antara mil atau farsakh, itu dapat dijelaskan dengan hadits yang diberitakan Abu Said Al-Khudri

Mil yang dipakai dalam penerapan Hadits ini bukan mil yang dipakai adalah mil hasyimi yaitu 1 (satu) mil sama dengan 1847 meter. Jadi kesimpulan dari pendapat Abu Said Al-Khuduri adalah 1 farsakh = 3 mil atau 5541 meter (kira-kira 6 km). Lebih lanjut mengenai Satuan Farsakh itu (menurut sejarah dan stadart baku) adalah berasal dari Satuan Persia Kuno, yaitu perjalanan dengan kuda selama 1 jam menempuh jarak 3 mil.


Mengenai perjalanan itu baik itu jalan kaki, dengan kuda atau naik pesawat sekalipun tidak menjadi pertimbangan/ketentuan, dengan dasar bahwa baik Hadits Shohih ataupun yang Dla'if hanya menerangkan masalah jarak tempuh saja.

Dengan artian bahwa kemudahan-kemudahan perjalanan itu baik karena faktor ekonomi, perkembangan jaman atau pun lainnya hendaknya tidak menjadikan gugurnya ketentuan Sholat Musafir/Safar ini.

Sebagai contoh bepergian dengan mobil atau pesawat terbang yang memang dirasakan tidak memberatkan untuk melaksanakan Sholat secara lengkap (tetap 4 roka'at), bukan berarti itu menjadi benar adanya bila Sholat itu tetap dijalankan 4 roka'at karena merasa sanggup menlaksanakan secara lengkap. Atau bila ada suatu pendapat kalau jaman dulu bepergian begitu terasa sulitnya maka sholat 4 roka'at adalah wajar bila ada rukhsho sehingga menjadi 2 roka'at, maka tentunya saat ini sholat 4 roka'at itu harusnya berlipat menjadi 8 roka'at karena mudahnya perjalanan ! Tentunya hal ini menjadikan kabur/rancunya ketentuan sholat musafir ini (bahkan tidak mustahil ketentuan-ketentuan ibadah lainnya juga) dengan suatu "pendapat" yang tidak ada dasar menurut Tuntunan Allah dan RasulNya.

2. Sholat-sholat yang di Qashar.

Adapun sholat yang di Qashar adalah yang berjumlah 4 raka'at saja sehingga menjadi 2 raka'at, sedangkan yang 2 atau 3 raka'at tidak boleh. Sehingga yang bisa diqoshar adalah Dhuhur, Ashar dan Isya'.


3. Batas waktu Sholat Musafir/qashar.

Batas waktu pelaksanaan ketentuan hukum musafir mengacu pada Hadits berikut :

Artinya : Dari Umar ra, diberitakan: Rasulullah SAW bersabda "Sholat dalam bepergian adalah dua raka'at hingga ia kembali ke keluarganya atau ia mati. (HSR Khatib)

Artinya : Dari Hafsah bin Ubaididlah, diberitakan bahwa: "Anas bin Malik bertempat di Syam selama dua tahun selalu meng-qashar shalat menjadi dua rakaat. Dan Anas bin Malik berkata: Para sahabat Rasulullah SAW bertempat di Ramurmuz selama tujuh bulan, mereka meng-qashar shalat".

Dari Al-Hasan berkata: "Saya di Kabul bersama Abdul Rahman bin Samurah selama dua tahun tetap meng-qashar shalat " tidak dijama' (digabung). Dari Ibrahim berkata : "Para sahabat Rasulullah SAW berada di Riy selama setahun dan lebih setahun. Di Sajastan selama dua tahun, mereka shalat dua rakaat. Maka itu dari Rasulullah SAW sebagaimana engkau lihat. (Kitab Fiqkhus-sunah Juz II)


4. Kewajiban menyempurnakan sholat-bagi musafir.

Pengertian bahwa sholat 2 raka'at (sholat qashar) dianggap sebagai boleh di ringankan (boleh dikerjakan atau lebih baik tidak dikerjakan) didasarkan dengan hadits di bawah ini :

Artinya : Dari A'isyah ra. Ia berkata : "Bahwa Nabi SAW meringkas sholat apabila dalam bepergian, dan menyempurnakan 4 (empat) rakaat, juga berpuasa dan tidak berpuasa".

Diberitakan oleh Ad-Daraquthni, dan perawinya bisa dipercaya, tetapi masih dinilai cacat (Kitab Subulus Salam juz II) :

Artinya
: Dari A'isyah ra. Ia berkata :"Saya pergi bersama Rasulullah SAW melakukan umrah di bulan ramadhan , Rasulullah SAW tidak berpuasa dan saya berpuasa dan Rasulullah SAW sholat (2 rakaat) dan saya menyempurnakan (4 rakaat), kemudian saya berkata : Ayahku dan ibuku, mereka tidak berpuasa dan saya berpuasa dan mereka mengqashar sholat dan saya menyempurnakan. Maka Rasulullah SAW menjawab : Kamu berbuat baik, hai A'isyah. Demikian diberitakan oleh Ad-­daraquthni, dan ia menyatakan : K isnad baik (Kitab Nail­authar juz II).

Hadits di atas dipandang cacat meskipun orang yang memberitakan(rijal) terpercaya, hal ini dikarenakan bersambungnya berita oleh Abdurrahman dari A'isyah, yang saat itu Abdurrahman masih kecil dan sekaligus tidak mendengarkan langsung dari A'isyah, selain itu berita di atas tidak sesuai dengan :

Artinya : Syaik lbnu Taimiyah menyatakan : "Berita ini (hadits tersebut di atas) adalah bathil, tidaklah mungkin terjadi bila Ummul-Mu’minin (A'isyah) menyalahi Rasulullah serta seluruh sahabat". Sedang berita shahih dari A'isyah menyatakan : Bahwa Allah meM-fardlu-kan sholat awalnya adalah 2 (dua) rakaat. Kemudian ketika (Rasulullah) hijrah ke Madinah, barulah ditambah menjadi empat rakaat disaat muqim/hadlar (tidak bepergian) dan dua rakaat seperti permulaan diwajibkannya sholat disaat bepergian (musafir/muttafaqa alaihi).

Adalah sangat utamanya qashar/sholat 2 rakaat diwaktu bepergian seperti pada hadits berikut :

Artinya : Dari Ibnu Umar ra, Ia berkata : " Saya menyertai Rasulullah SAW (dalam bepergian), dan Rasulullah SAW TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat (menambah) hingga nyawa Rasulullah SAW dicabut oleh Allah. Dan saya menyertai Abu Bakar ra, Abu Bakar ra TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat (menambah) hingga nyawa Abu Bakar ra dicabut oleh Allah. Dan aku menyertai Umar ra, TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat (menambah) hingga nyawa Umar ra dicabut oleh Allah. Dan saya menyertai Utsman ra, TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat (menambah) hingga nyawa Utsman ra dicabut oleh Allah.

Keterangan tambahan :

Hadits di atas sudah sangat jelas bahwa Nabi tidak pernah satu kalipun mengerjakan sholat pada saat musafir/dalam perjalanan itu lebih dari 2 rakaat begitu juga para sahabat-­sahabatnya. Hingga demikian dalil tersebut menjadi dalil Qaidah (bukan dalil nash) seperti halnya dengan Sholat subuh, Sholat Jum'at, Sholat 2 Hari Raya semuanya wajib 2 rakaat (tidak menyatakan secara langsung dengan kalimat di Wajibkan....)

Dalil-dalil yang menguatkan pelaksanaan sholat saat bepergian itu 2 rakaat adalah berikut ini :

Artinya : Dari lbnu Umar, Ia berkata : "Saya bersama Rasulullah SAW 2 rakaat dan bersama Abu bakar ra dua rakaat, dan bersama Umar ra dua rakaat, kemudian sesudah itu syariat menjadi pecah. Maka alangkah baiknya bagianku dua rakaat dari pada empat rakaat (Al Bukhari).

Artinya : Dari Abdurrahman bin Yazid, Ia berkata : "Utsman ra sholat bersama kami di Mina 4 rakaat, kemudian kejadian itu disampaikan kepada Abdullah Bin Mas'ud maka Beliau beristirja' (membaca "innalillahi wa inna ilahi Raji'un) kemudian Beliau berkata : "saya sholat bersama Rasulullah SAW di Mina 2 rakaat, dan sholat bersama Abu Bakar ra di Mina juga 2 rakaat, dan saya sholat bersama Umar ra di Mina juga 2 rakaat maka alangkah baiknya bagianku 2 rakaat yang diterima daripada 4 rakaat. (HSR. Al-Bukhari).


Hadist ini diperkuat dengan hadits-hadits berikut :

Artinya : Dari lbnu Abbas, Ia berkata : "Allah memfardlukan sholat pada lisan Nabimu atas orang bepergian 2 rakaat, atas orang mukim 4 rakaat dan Khauf 1 rakaat (HSR. Muslim)

Artinya : Dari Umar Ibnu Khattab ra, Ia berkata : "Sholat Idul Adha 2 rakaat, sholat Shubuh 2 rakaat, sholat Idul Fithri 2 rakaat, sholat bepergian 2 rakaat. (Semua 2 rakaat itu) adalah sempurna/tamam, bukan qashar, itu menurut lisan Muhammad SAW (HSR Ahmad dan An-Nasa'iy dan Ibnu Majah).

Artinya : Dari Ibnu Umar, Ia memberitakan : Rasulullah bersabda : Bahwa Allah senang rukhsahnya dilakukan dan Ia benci pada melakukan durhaka/tidak mengerjakan.

Dengan demikian jelaslah barang siapa yang mau mengerjakan rukhsahnya Allah dengan senang hati maka Allahpun akan sangat senang kepadanya, meskipun ia merasa tidak sreg dalam melaksanakannya karena menjadi ringannya pelaksanaan ibadah itu. Jadi jelaslah Sholat Musafir/Safar 2 rakaat harus dijalankan sebagai mana perintah-perintah Allah lainya yang wajib diikuti, dan bukan dihindari, diabaikan atas dasar kemauannya sendiri ataupun karena ragu-ragu.

Bahwa ketentuan Sholat Musafir ini hanya membahas ruksha karena jarak saja, dan tidak dibatalkan ketentuannya ini karena sebab-sebab lain misalnya sarana transportasi yang dipakai, ringannya perjalanan, dll. (Hal ini diperkuat dengan tidak adanya Hadits yang Sahih atau Dhaifpun yang menyinggung batalnya ketentuan Sholat Musafir/Safar ini karena alasan ini)


5. Hal-hal lain tentang cara pelaksanaan Sholat Musafir/Safar.

Menunda pelaksanaan Sholat hingga menjumpai tempat yang dirasa afdal/nyaman.
Mari kita lihat Hadits dari Abdullah bin 'umar diriwayatkan :


Artinya : Bahwa Nabi SAW bersembahyang di atas punggung kendaraannya menghadap ke arah yang ditujunya dengan memberi isyarat dengan kepala.

Dari riwayat tersebut maka pelaksanaan Sholat Musafir/Safar (bisa) dilaksanakan selagi dalam perjalanan itu sendiri baik di atas kuda, onta, sepeda motor, mobil dll, tanpa harus menunggu sampainya ke suatu tempat seperti mushola, masjid dll. Sedangkan bab bersuci itu sendiri bisa dilakukan dengan bertayamum.



Q.S : Al Baqoroh 2:159-160 : "Sesungguhnya mereka yang menyembunyikan keterangan-keterangan dan petunjuk yang telah Kami turunkan untuk manusia, (maka) mereka itu akan dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat (orang yang tersesat karena tidak disampaikannya keterangan-keterangan Allah).

Kalimat Bijak :

  1. Meringankan ibadah tetapi istiqomah itu jauh lebih utama dari ibadah yang berat tetapi hanya sesaat.
  2. Kesempurnaan ibadah terletak pada tata cara pelaksanaan yang mengikuti aturan yang benar, bukan kepada kuantitasnya dan juga bukan kepada "rasa" misalnya : enak, mantab , dll.
  3. Mengamalkan ibadah ringan/meringankan ibadah bukan perbuatan tercela atau mengurangai pahala, bahkan lebih utama dari pada ibadah berat apalagi tercampur dengan bid'ah (tidak ada dasarnya).
  4. Apa-apa yang ada tuntunannya menurut Al Qur'an dan Hadits yang Shahih dan Kuat adalah benar adanya, meskipun gampang dan ringan jadi tidak perlu ragu-ragu melaksanakannya meskipun tidak banyak yang melakukannya.
  5. Bid'ah bukan suatu kebaikan meskipun baik menurut akal (biasanya mendapat sebutan Bid'ah Hasanah). Tata cara ibadah harus menurut aturan yang sudah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya (harus ada dasarnya menurut Al-Qur'an & Al Hadits yg kuat) . Sedangkan urusan dunia terserah kepada kita asal tidak bertentangan dengan larangan-larangan.
  6. Wilayah Bid'ah dan Kilafiyah harus dihindari karena "pasti tertolak" (HSR. Muslim : Barang Siapa mengabaikan Sunahku maka bukan termasuk dari kaumku", maka ini adalah sebenar-benarnya "bertepuk sebelah tangan")
  7. Jangan percaya terhadap suatu pendapat seseorang yang mempunyai gelar-gelar (Haji, Imam, Kiai, Ustadz/ustadzah, dll) hingga memang terbukti telah melihat kebenaran yang disampaikan itu adalah dari Allah dan Rasul-Nya.
  8. Hati-hati dengan pendapat "Perbedaan di umatku adalah rahmat", karena memang tidak ada satupun Hadits sekalipun yang Dla'ifpun yang menerangkannya.
>> Link : Bahasan Sholat Musafir Sejenis dalam Bahasa Inggris <<
Custom Search